Sabtu, 18 April 2020

Kaca retak

Wawan Setiawan Tirta


Kala itu gerimis mengiringi sirene keberangkatan. Perlahan-lahan kecepatannya bertambah, menimbulkan suara-suara khas gesekan roda dan rel kereta. Lorong gerbong itu tampak sepi mungkin karena hari biasa, sehingga nomor kursi pun tak jadi soal untuk duduk di mana saja sesuai pilihan.

Kami pun berpencar, melirik posisi strategis agar bisa duduk dengan lega. Sejenak aku memandang keluar jendela, tampak gerimis masih membasahi kaca. Kaca itu retak, entah oleh apa kemungkinan besar akibat hantaman sesuatu dari sisi luar.

Kala itu gerimis mengiringi sirene keberangkatan Kaca retak
Kereta itu belum lama meluncur, sesekali aku layangkan pandang keluar jendela lagi. Tampak sebuah taksi sedang meluncur di jalanan. Pemandangan taksi dibalik kaca jendela yang retak itu mengingatkan saya akan sebuah obrolan di kala subuh. Obrolan hangat bersama seorang supir taksi yang sedang retak hatinya.

Kala itu gerimis mengiringi sirene keberangkatan Kaca retak
Waktu itu saya sedang menuju bandara, untuk berangkat ke "meeting point" yang telah disepakati bersama dalam memulai perjalanan kami menuntaskan rasa penasaran akan pesona laguna di sebuah pulau.

"Mau berangkat ke mana Pak?" supir itu membuka obrolan dalam kegelapan jalanan ibukota menuju bandara. "Surabaya" jawabku, sambil menyodorkan lembaran untuk membayar tol. Dan obrolan pun berlanjut dalam perjalanan itu, yang ternyata si supir ini cerita kalau dia berasal dari daerah sekitar Brebes.

"Ow, Brebes yang terkenal dengan bawang merah itu?" tanyaku, "Iya benar Pak!" jawabnya dan si supir pun lalu melanjutkan ceritanya tentang cara menanam bawang di sana. Obrolan itu mengalir sedemikian rupa, sampai-sampai si supir curhat akan masalah hatinya yang diakibatkan oleh cinta.

"Sakit mas, bener sakit hatiku!" kesal si supir. "Kalau saya puasa 40 hari saja, bisa kena dia" lanjutnya. "Bisa kenapa dia? puter giling gitu?" tanyaku penasaran sambil teringat kisah di cergam petruk gareng zaman dulu. "Ya ... bisa kena akibatnya lah, jadi gila" jawab si supir. Begitulah lontaran kata-katanya setelah dia menuturkan perasaan sakit hatinya dikhianati oleh sang pacar waktu itu yang telah menerima lamarannya. Konon pacarnya itu pergi dan memutuskan dia tanpa alasan yang jelas.

Memang prihatin mendengar penuturannya kala itu, namun rasanya kurang adil juga kalau hanya tahu dari satu sisi dalam mengambil sebuah kesimpulan benar dan salah. Obrolan kami tetap berlanjut , yang tanpa disadari kami jadi mendiskusikan tentang tujuan hidup yang lebih berorientasi ke manfaat. Dan bagaimana sebuah kualitas diri yang terukur oleh perjalanan waktu, suka dan duka.

"Bener mas,kalau saya puasa 40 hari saja.." berkali-kali si supir mengucapkan itu. "Ah..sudahlah, untuk apa?" timpal saya, "Apa kamu tega melihat orang yang pernah kamu sayangi itu menderita ?" tanyaku sambil tersenyum seakan-akan menantangnya. Si supir hanya diam sesaat lalu senyum-senyum tanpa menjawab pertanyaanku. Tak lama kemudian sampailah kami di terminal keberangkatan, si supir sempat turun dari taksi sambil tersenyum mengucapkan salam sebelum berpisah.

Kala itu gerimis mengiringi sirene keberangkatan Kaca retak
Begitulah sebuah ingatan sesaat yang mengiang selama duduk di bawah kaca jendela retak itu. Kaca yang retak memang menghalangi pandangan, bahkan pemandangan alam nan indah pun jadi suram.


-rdt-